Berbagai macam gaya striker kita saksikan dalam menendang bola ke gawang lawannya. Ada yang menendangnya dengan keras ada yang dengan gaya tipuan ada pula yang pelan, lurus dan penuh ketenangan. Tentunya setelah itu mereka akan mengekspresikan kebahagiaan yang tak terkira. Apa lagi bagi pencetak gol untuk yang pertama kalinya.
Demikian pula halnya ketika kita hendak menendang bola cinta. Permasalahannya, bukanlah sekedar menendang. Namun ke manakah akan ditendang atau setidaknya dioper untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan yang kekal.
Setiap kita memiliki bola-bola cinta. Ada cinta materi, karir, jabatan, popularitas dan kesenangan duniawi. Sebagian lagi bola cinta orang tua, sanak famili dan saudara bahkan istri (atau suami) serta keluarga.
Namun yang menakjubkan adalah sebagian manusia memiliki keyakinan bahwa mereka sanggup menendang bola cinta ke alam ghaib. Maka ketika penjaga sel kerajaan menyiksa Ashabul Kahfi mereka keheranan. Karena tak sedikitpun terlihat fenomena penyesalan dan ketakutan di wajah mereka !!!
Bahkan sebaliknya mereka sangat bahagia dan puas menyuarakan sebuah kebenaran. Padahal mereka dulunya adalah sekelompok penasehat Gubernur Romawi di Philadelphia (Syam), Diyaklitianus (atau Diqyanus menurut Ibnu Katsir). Kemudian mereka menyatakan keislamannya ketika Kaisar Romawi mengelilingi daerah imperiumnya tersebut. Barangkali inilah yang mendorong salah seorang penjaga sel membantu mencari jalan pelarian bagi mereka.
Allah swt menjanjikan balasan dari bola cinta tersebut berupa manisnya iman. Salah satu cirinya adalah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari segalanya. Ke sinilah seharusnya bola cinta itu disarangkan.
Umar bin Khattab pernah mengoperkan bola cintanya dihadapan Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling kucintai dari segalanya kecuali dari diriku sendiri”. Dengan tersenyum beliau menjawab,”Belum wahai Umar. Demi Allah sampai aku lebih kau cintai dari dirimu”. Maka dengan mantap seketika itu pula Umar memperbaharui cintanya seraya menegaskan. “Demi Allah sungguh engkau lebih kucintai dari diriku”. Rasulpun menimpali,”Sekarang wahai Umar”. (Lihat Shahih Bukhori)
Satu hal lagi. Untuk menyarangkan gol tersebut perlu sebuah strategi jitu, kerjasama yang bagus dan kuatnya pengertian. Inilah kunci kedua mendapatkan manisnya iman, yaitu mencintai saudara seiman karena Allah. Kita memerlukan teman seperjuangan yang sama-sama tahu kemana bola-bola cinta itu akan kita tendang. Ini bisa dianalogkan karena perjalanan ke gawang mesti melewati barisan musuh dari sejak kuatnya lini tengah sampai menerobos diantara `kekar`nya back belum lagi pertahanan terakhir, sang kiper.
Dalam perjalanan kehidupan, musuh yang kita hadapi sangat beragam bentuknya. Yang paling utama adalah diri kita sendiri (annafs). Selain itu adalah `kesebelasan` syaithan yang telah berhasil mengkader beberapa anak manusia untuk mengikuti jejak mereka dalam menjegal kekuatan bola-bola cinta agar tidak sampai pada tujuan yang benar yaitu Allah dan menegakkan kalimat-Nya.
Hal ini terlihat jelas dari Abu Hurairah yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw, “Jiwa-jiwa bagai pasukan berbaris rapi maka yang saling menyatu akan bergabung dan yang saling ingkar akan (selalu) berbeda” (HR.Muslim)
Kuatnya ukhuwah (persaudaraan) dan solidnya kerjasama idealnya melahirkan sebuah kerapian manajemen. Maka dengan strategi menyerang yang bagus serta kuatnya sistem pertahanan yang baik akan semakin memperbanyak membantu dalam mencetak bola-bola cinta. Kala itu kita akan benar-benar puas mengekspresikan manisnya iman. Entah seperti apa rasanya?!! Yang jelas terlalu sulit untuk diungkapkan disini lewat rangkaian huruf dan kata-kata.
Anda ingin merasakannya? Mari sama-sama kita saling mengoper bola-bola cinta tersebut. Saya juga ingin merasakannya.
Bola-bola Cinta